Di tengah kompleksitas masyarakat modern yang majemuk, institusi keagamaan memiliki tanggung jawab yang melampaui urusan spiritual internal. Gereja dan Kebhinekaan merupakan tema yang esensial, di mana Gereja dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam memfasilitasi perdamaian dan dialog antar agama. Pemahaman bahwa keragaman—baik suku, budaya, maupun agama—adalah anugerah, menjadi kunci utama dalam membangun harmoni sosial yang berkelanjutan. Gereja dan Kebhinekaan dapat menjadi katalisator bagi transformasi sosial. Berdasarkan laporan tahunan dari Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) yang dirilis pada akhir tahun 2025, inisiatif dialog yang digagas secara kolektif oleh rumah ibadah mampu meningkatkan indeks kerukunan umat beragama di tingkat kota hingga 0,5 poin dalam skala 5.0, menunjukkan dampak nyata dari peran aktif Gereja.
Peran nyata Gereja dalam mendukung Gereja dan Kebhinekaan diwujudkan melalui dua pilar: edukasi internal dan aksi kolaboratif eksternal. Secara internal, Gereja perlu secara rutin mengadakan sesi pengajaran yang menekankan teologi inklusif dan etika sosial yang mengajarkan toleransi, bukan sekadar penerimaan pasif. Program ini harus diselenggarakan secara terstruktur, misalnya melalui program Sekolah Minggu atau Kelompok Sel/Komunitas Dewasa Muda. Secara eksternal, inisiatif dialog antar agama yang terlembaga menjadi sangat krusial. Beberapa Gereja secara proaktif membentuk "Tim Dialog Lintas Agama" yang bertugas menjalin komunikasi intensif dengan tokoh agama lain. Tim ini biasanya terdiri dari satu pastor, dua penatua, dan tiga perwakilan jemaat muda.
Dialog yang difasilitasi oleh Gereja tidak selalu harus bersifat teologis, melainkan dapat berfokus pada isu kemanusiaan dan sosial bersama. Contohnya, kolaborasi dalam penanggulangan bencana alam, atau program gotong royong membersihkan fasilitas umum. Di sebuah komunitas yang memiliki Gereja dan Masjid berdekatan, Komite Pemuda Gereja pernah secara rutin membantu panitia Masjid setempat dalam menyiapkan logistik Bazar Amal tahunan mereka. Kegiatan ini dilakukan setiap akhir pekan pertama bulan Maret, dengan koordinasi yang melibatkan aparat Babinsa dan Bhabinkamtibmas untuk memastikan kelancaran dan keamanan kegiatan. Aksi solidaritas praktis ini efektif meruntuhkan sekat prasangka dan membangun rasa persaudaraan yang organik.
Untuk memastikan keberlanjutan Gereja dan Kebhinekaan, program pelatihan kepemimpinan gereja juga harus mencakup modul khusus tentang sensitivitas budaya dan resolusi konflik. Para pastor dan pemimpin awam harus dibekali keterampilan untuk menanggapi isu-isu sensitif secara bijaksana dan mencegah eskalasi konflik di tingkat komunitas. Dengan komitmen yang tulus dan terstruktur, Gereja tidak hanya mempertahankan keutuhan imannya, tetapi juga membuktikan dirinya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, yang berkontribusi aktif dalam merawat mozaik keberagaman Indonesia. Komitmen terhadap Gereja dan Kebhinekaan adalah panggilan untuk bertindak sebagai pembawa damai dalam dunia yang semakin terfragmentasi.
